Mengenal Mitos ‘Beauty Standard’ dan Bahayanya untuk Wanita

KinipahamDear Ladies, pernah dengar istilah beauty standard? Secara sadar atau tidak, kalian pasti pernah merasa tidak percaya diri dengan bentuk tubuh, warna kulit, tinggi badan, atau pun wajah yang tak semulus bintang Korea Selatan (Korsel) yang seringkali menjadi “kiblat”kecantikan wanita-wanita Indonesia.

Bahkan, orang-orang Korea sendiri juga rela menghabiskan banyak uang demi melakukan tren operasi plastik untuk mengubah sedemikian rupa bentuk tubuh mereka yang dirasa tidak ideal, seperti hidung yang kurang mancung, bentuk muka yang tidak proporsional, dagu yang kurang lancip, dan lain sebagainya. Nah, Ladies, itu semua yang kerap dikategorikan sebagai mitos standar kecantikan.

“A girl should be two things: who and what she wants” Coco Chanel.

Hati-hati ya, Ladies! Jika kalian pernah merasa tidak percaya diri dengan hal-hal tersebut, bisa jadi kalian sudah menjadi korban mitos standar kecantikan. Andai semakin berlarut, mitos tersebut akan tertanam di diri kalian menjadi suatu ideologi atau pemahaman yang apabila tidak dicapai, akan membuat kalian semakin stress dan tidak percaya diri dengan diri kalian sendiri. 

Foto: Whatthedoost.

Permasalahan mengenai beauty standard tidak akan pernah habis dimakan waktu. Alangkah baiknya apabila keputusan untuk membentuk tubuh sedemikian rupa jangan sampai dilakukan hanya untuk memenuhi mitos standar kecantikan, tetapi dilakukan untuk alasan-alasan yang lebih masuk akal dan positif.

Msalnya, melakukan diet agar tubuh sehat, merawat kulit sebagai bentuk syukur pada Sang Pencipta, dan tidak perlu memaksakan diri untuk mengubah bentuk tubuh secara ekstrem hanya demi memenuhi standar sosial yang bersifat mitos. Apalagi, sampai menghina beberapa wanita yang dianggap tidak memenuhi standar kecantikan tertentu.

Itulah mengapa, gerakan body positivity semakin tren belakangan ini. Gerakan sosial tersebut berfokus pada pemberdayaan individu tanpa melihat ukuran fisik mereka. Selain itu, gerakan ini juga ingin memberitahu masyarakat agar tidak semata-mata menilai seseorang dari fisik yang bertujuan untuk memenuhi standar kecantikan tertentu.

Bukan hanya sekadar wacana, gerakan ini semakin nyata terlihat, terutama di industri fesyen belakangan ini:

1. Jill Kortleve, seorang model berusia 26 tahun asal Belanda yang menjadi model “plus-size” untuk merk terkenal Chanel

Foto: Insider.

Pada acara bergengsi Paris Fashion Week  tanggal 3 Maret tahun lalu, Jill Kortleve, seorang model berkebangsaan Belanda usia 26 tahun tersebut memperagakan busana merk Chanel untuk memamerkan pakaian koleksi desainer “ukuran plus”.

Hal ini menjadi pertanda, bahwa pelaku industri fesyen ternama sekali pun turut berjuang untuk menampakkan bentuk tubuh wanita yang beragam.

2. Desainer Zac Posen menampilkan keberagaman wanita pada pameran untuk koleksi musim gugur

Foto: Essence.

Pada 2016 lalu, desainer Amerika Serikat, Zac Posen mencoba menampilkan keberagaman secara besar-besaran dengan menggaet mayoritas model wanita berkulit hitam untuk koleksi musim gugur. Bahkan, beberapa koleksi rancangannya terinspirasi dari wanita di Afrika Timur.

Keputusan Zac tersebut seringkali disebut sebagai revolusi New York Fashion Week yang seringkali didominasi model wanita berkulit putih. Hal ini menyiratkan, bahwa Zac ingin menampilkan beragam kecantikan wanita yang tidak mengenal warna kulit, baik hitam maupun putih.

Nah, Ladies. Dua contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya para pelaku industri fesyen yang juga memperjuangkan keberagaman kecantikan dan keindahan wanita. Jadi, tidak ada lagi yang namanya insecure karena tidak memiliki kulit putih, atau badan yang tidak langsing. Jadi, jangan mau termakan mitos standar kecantikan, ya! (FN)