Jernih dan Mencerahkan

Mengenal Echo Chamber dan Bahayanya di Media Sosial

283

Kinipaham – Echo chamber merupakan istilah yang sering digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang hanya mau menerima informasi yang dianggapnya benar sehingga sangat rentan mempercayai berita bohong atau hoax.

Menurut Pablo Barbera, penulis buku Tweeting From Left to Right, Echo Chamber bisa terjadi bila individu hanya mau menerima informasi yang mendukung opini dirinya. Salah satu faktor terkuat pembentukan Echo Chamber adalah media sosial daring.

Facebook, Twitter, grup Whatapps, dan Instagram memiliki peran besar dalam penyebaran hoax karena banyak dari penggunanya hanya mengikuti akun atau grup yang sepaham dengan dirinya dan opininya.

Ilustrasi Echo Chamber. Foto: NY Times.
Ilustrasi Echo Chamber. Foto: NY Times.

Wikipedia menyebut tidak beragamnya informasi yang didapatkan oleh seseorang di sosial media membuatnya percaya bahwa informasi yang didapatnya sudah sangat benar padahal bisa jadi informasi yang didapatnya adalah berita bohong yang penyebarannya diulang-ulang sehingga terlihat seperti kebenaran.

Echo Chamber dapat diperparah ketika seseorang menggunakan search engine seperti Google untuk mencari informasi pendukung berita hoax yang ditemukannya di media sosial.

Selain penggunaan search engine yang tidak benar, keberadaan Echo Chamber bisa juga diperparah ketika seseorang hanya bergaul dengan orang yang sepaham dengan pendapatnya. Public Figure juga terkadang menjadi faktor penguat Echo Chamber. Lebih lagi saat pandemi seperti sekarang.

Media Sosial Jadi Ruang Pembentukan Echo Chamber

Sementara menurut penulis buku Nudge: Improving Decisions about Health, Wealth, and Happiness (2008), Cass Sunstein, media sosial bak pisau bermata dua.

Kehadiran media sosial, kata Cass Sustein, dapat mengatasi beberapa hambatan sosial yang disebabkan letak geografis. Artinya, semua orang dapat berkomunikasi dengan siapa saja dan tentang apa saja tanpa terbatas ruang serta waktu. Maka, media sosial berpotensi besar menghadirkan pandangan yang lebih seimbang tentang dunia.

Di sisi lain, Cass Sustein khawatir bahwa media sosial hanya menyedot orang-orang ke dalam kelompok-kelompok yang homogen atau sepandangan tentang suatu hal. Orang-orang akan dijauhkan dari informasi-informasi yang berbeda dengan pandangannya. Pada kondisi tersebut echo chamber terjadi.

“Meski jutaan orang menggunakan internet untuk memperluas wawasan mereka, banyak orang melakukan yang sebaliknya. Menciptakan ‘daily me’ yang secara khusus dirancang untuk kepentingan dan prasangka mereka sendiri,” kata Sustein.

Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.