Bacteriophage adalah virus yang menjadikan mikroba sebagai media berkembang biak. Mendengar kata virus memang menjadi momok yang menakutkan bagi manusia karena banyak penyakit yang bisa ditimbulkan dari makhluk ini, apalagi di awal tahun 2020 dunia digemparkan dengan pandemik SARS-Covid-19 atau Virus Corona.
Bacteriophage seperti halnya jenis virus yang lain adalah sub-microscopic infections agents yang berkembang biak di dalam sel organisme hidup. Bacteriophage berada di mana-mana, dari mulai tangan, muka, saluran air, air minum, dan tempat-tempat lainnya.
Baca juga: Ilmuwan Singapura Temukan Alat Uji Corona Tercepat, Cuma 5 Menit
Walaupun menjadi momok yang menakutkan, bacteriophage ternyata bisa menjadi sekutu bagi manusia untuk berperang melawan organisme lain yang membawa penyakit yaitu bakteri. Bakteri merupakan mangsa alami bagi bacteriophage, bacteriophage menyerang bakteri lalu digunakan sebagai media berkembang biak.
Pada masa lalu banyak penyakit yang disebabkan oleh bakteri, hingga pada tahun 1928 Alexander Fleming menemukan zat antibiotik yang dinamakan penisilin. Hampir seabad sejak penemuan antibiotik, banyak bakteri berevolusi menjadi tahan terhadap antibiotik yang dibuat manusia. Bakteri yang berevolusi ini disebut Totally Drug Resistant atau TDR atau sering juga disebut Superbugs.
Kemunculan Superbugs merupakan imbas dari penggunaan antibiotik yang berlebihan. Dahulu manusia hanya menggunakan antibiotik untuk melawan infeksi bakteri mematikan, seiring berjalannya waktu manusia menggunakan antibiotik untuk penyakit-penyakit kecil seperti flu ringan sehingga memudahkan bakteri untuk berevolusi menjadi Superbugs.
Baca juga: Wuhan Cabut Lockdown, Warga Khawatirkan Gelombang Infeksi Baru
Superbugs menjadi sangat menakutkan karena tidak ada obat yang dapat membunuhnya, harapan datang dari makhluk yang tidak terduga yaitu bacteriophage. Pengobatan melawan bakteri yang kebal antibiotik menggunakan bacteriophage disebut Bacteriophage Therapy. Cara pengobatannya dengan cara menyuntikan kelompok bacteriophage yang akan hanya menyerang bakteri penyebab infeksi di dalam tubuh pasien.
Pharmaceutal Journal menyebut kematian yang diakibatkan oleh Superbugs pada 2015 di Eropa mencapai 33.110 kasus dengan jumlah kasus infeksi mencapai 671.689 kasus. Menanggapi hal ini pada 2018 WHO menyatakan bahwa Superbugs menjadi ancaman serius bagi kesehatan, ketahanan pangan, serta perkembangan global. WHO juga menyebut pada tahun 2050 jumlah orang yang akan meninggal karena Superbugs bisa melewati jumlah orang yang meninggal karena kanker.
Kemunculan Superbugs
Superbugs berevolusi mematuhi prinsip seleksi alam yang dipelopori oleh Charles Darwin, penggunaan antibiotik dapat membunuh bakteri tetapi tidak semuanya mati, bakteri yang tidak mati ini kemudian akan berkembang biak membawa gen penangkal antibiotik lalu seiring berjalannya waktu bakteri ini akan kebal terhadap antibiotik yang diberikan.
Ketika bakteri menjadi kebal terhadap satu antibiotik manusia akan mengembangkan antibiotik lain yang lebih keras, tetapi karena bakteri adalah organisme hidup yang mampu berevolusi maka proses yang sama akan terulang kembali menjadikan bakteri tahan terhadap antibiotik yang baru.
Proses di atas bisa diperparah dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik tanpa resep dokter diduga menjadi penyebab utama kemunculan Superbugs, hal ini dikarenakan absennya resep dokter membuat penggunaan antibiotik menjadi berlebihan, dosis yang tidak tepat, serta tidak jarang untuk penyakit sepele seperti flu ringan.
Alexander Fleming dalam jurnalnya telah memprediksi kemunculan Superbugs, “Akan ada masa di mana penisilin dapat dibeli semua orang di toko-toko. Hal ini dapat berakibat fatal bila seseorang menggunakannya dengan dosis yang rendah dan membuat mikroba yang menjangkit dirinya menjadi kebal terhadap penisilin.”
Bacteriophage Therapy
Bakteri yang memiliki kekebalan terhadap antibiotik ternyata punya musuh alami di alam, musuhnya adalah keluarga virus bacteriophage. Meski terdengar out of the box ternyata bacteriophage therapy sangat mungkin untuk dilakukan.
Menurut Science in the News bacteriophage sangat pemilih dalam menyerang bakteri yang akan dijadikan media berkembang biak. Keunggulan utama dari terapi ini adalah ketika bakteri yang menjadi target bacteriophage berevolusi menjadi lebih kuat, secara alami phage juga berevolusi untuk melawannya.
Kemudian Science in the News mengatakan keunggulan lain dari phage adalah mereka seperti rudal kendali yang hanya menyerang bakteri tertentu sedangkan antibiotik diibaratkan seperti bom nuklir yang menyerang semua bakteri, padahal tidak semua bakteri di dalam tubuh manusia merupakan bakteri jahat, banyak juga bakteri baik yang bisa membuat hidup manusia lebih baik dan berkualitas.
Walaupun memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh antibiotik bukan berarti bacteriophage therapy tidak memiliki kekurangan. Kekurangan utamanya adalah mencari phage yang tepat untuk melawan bakteri yang menjangkit pasien.
Selain itu hambatan terbesar datang bukan dari karakter bacteriophage tetapi manusianyanya itu sendiri. Manusia memiliki stigma bahwa semua virus adalah makhluk mematikan yang dapat menyebabkan penyakit. Padahal di dalam tubuh manusia sehat selalu ada keluarga virus bacteriophage, alasan mengapa manusia tetap sehat karena bacteriophage tidak mejadikan sel manusia sebagai media berkembang biak.
Meskipun sudah terbukti berhasil, negara-negara barat tetap menganggap Bacteriophage Therapy sebagai terapi kesehatan yang beresiko. Kekhawatiran mereka berdasarkan kemampuan bacteriophage untuk berevolusi, mereka khawatir bacteriophage akan berevolusi menyerang sel manusia yang kemudian akan memunculkan masalah baru.
Stigma di atas membuat pengembangan bacteriophage therapy menjadi terhambat. Tetapi hal ini dapat berkurang melihat semakin banyaknya Totally Drug Resistant Bactery akibat penggunaan antibiotik berlebih. (SFN)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.