Kinipaham – Hingga hari ini, angka penularan kasus corona di Indonesia masih tinggi. Namun alih-alih bahu membahu menanggulangi wabah tersebut, politisi Tanah Air justru sibuk bicara pemakzulan presiden. Hal itu sempat diungkapkan pemerhati politik dan ekonomi, Rustam Ibrahim melalui akun Twitter pribadinya.
“Mengapa di tengah upaya pemerintah yang sibuk menanggulangi virus corona, tiba-tiba saja muncul wacana pemakzulan presiden? Tampaknya banyak yang cemas dan tidak sabar menunggu 2024,” tulisnya, seperti dikutip Kinipaham, Rabu 3 Juni 2020.
Lebih jauh, dirinya mengatakan, ada ratusan negara lain yang terdampak corona, bahkan kondisinya jauh lebih parah dari Indonesia. Namun, tak ada yang bicara mengenai pemakzulan presiden seperti halnya politisi dalam negeri.
Itulah mengapa, Rustam amat menyayangkan fenomena tersebut.
“Lebih dari 200 negara yang warganya tertular virus corona. Banyak yang lebih parah dari Indonesia. Tapi tidak ada masyarakat atau politisinya yang bicara mengenai pemakzulan. Bahkan bahu membahu mengatasinya,” terangnya.
“Mereka paham tentang kebebasan berekspresi, tapi mereka lebih matang peradaban politiknya,” kata dia menambahkan.
Baca juga: Tengku Zul Peringatkan Warga RI soal PKI, Katanya Hingga Kini Masih Ada
Sebelumnya, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Din Syamsuddin mengatakan pemakzulan pemimpin merupakan sesuatu yang dimungkinkan dalam konteks politik Islam. Mengutip pandangan pemikir muslim, Al-Mawardi, Din menjelaskan ada tiga syarat untuk memakzulkan kepala negara.
Dilansir dari Tempo, pertama, kata dia, tidak adanya keadilan. Din berujar, berlaku adil merupakan syarat utama seorang pemimpin. Karena itu, jika hal ini tidak terpenuhi maka layak untuk diberhentikan.
“Ketika pemimpin tidak berlaku adil, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya, atau ada kesenjangan ekonomi,” ujarnya dalam diskusi daring ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19’, beberapa waktu lalu.
Syarat kedua, ucap Din, pemimpin bisa diberhentikan jika tidak memiliki ilmu pengetahuan atau visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Dalam konteks Indonesia, hal ini sama dengan saat pemimpin itu tidak memahami esensi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Kalau ada pemberangusan diskusi, mimbar akademik, itu secara esensial bertentangan dengan nilai mencerdaskan kehidupan berbangsa’,” tukas Din.
Adapun syarat yang terakhir seorang pemimpin bisa dimakzulkan adalah ketika dia kehilangan kewibawaannya dan kemampuan memimpin terutama dalam masa kritis. (SFN)
Komen yang ditutup, tetapi jejak balik dan ping balik terbuka.